Dukungan Gizi Gratis untuk Anak di Wilayah Terpencil Melalui MBG

Oleh: Edward Likhumahuwa )*

Upaya pemerintah memperluas jangkauan layanan gizi bagi anak dan balita di wilayah terpencil melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi langkah strategis yang patut diapresiasi. Dalam konteks pemerhati kesehatan anak, ketersediaan gizi yang cukup dan merata bukan hanya berkaitan dengan pengurangan angka stunting, tetapi juga menyangkut masa depan generasi Indonesia. Program MBG memberikan intervensi konkret untuk menjamin hak dasar anak: mendapatkan makanan bergizi yang layak, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah yang sulit dijangkau.

Salah satu fondasi penting program ini adalah kehadiran Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menegaskan bahwa pemerintah telah membangun 8.200 SPPG di berbagai wilayah terpencil sebagai pusat distribusi layanan MBG. Langkah ini dirancang agar akses masyarakat terhadap makanan bergizi semakin merata. Selain pembangunan yang sudah rampung, terdapat 4.700 unit SPPG yang masih dalam proses dan sekitar 170 unit ditargetkan selesai pada Desember 2025. Pembangunan layanan ini menunjukkan bahwa komitmen pemerintah tidak berhenti pada perencanaan; implementasinya terus berprogres dengan skala yang signifikan.

Dadan menjelaskan bahwa jumlah penerima manfaat MBG di wilayah terpencil saat ini mencapai sekitar 3 juta orang, bagian dari total 47,2 juta penerima manfaat di seluruh Indonesia. Target yang lebih besar telah disiapkan: BGN optimistis dapat menjangkau 82,9 juta penerima manfaat pada Maret atau April 2026. Target ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan tekad pemerintah untuk memperluas perlindungan gizi bagi semua kalangan, termasuk masyarakat yang berada di lingkungan geografis paling menantang.

Di level kebijakan nasional, komitmen pemerintah semakin dipertegas melalui arahan Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan. Zulhas menyatakan bahwa pemerintah akan mempercepat pembangunan SPPG di wilayah 3T—tertinggal, terdepan, dan terluar. Percepatan ini penting mengingat ketimpangan akses pangan berkualitas masih menjadi problem klasik di Indonesia. Daerah 3T selama ini menghadapi tantangan infrastruktur, keterbatasan tenaga layanan kesehatan, serta distribusi bahan pangan yang tidak stabil. Dengan percepatan pembangunan SPPG, hambatan tersebut dapat diminimalkan sehingga anak-anak di wilayah paling rentan sekalipun memperoleh hak yang sama untuk tumbuh sehat.

Kolaborasi dengan sektor swasta juga memainkan peran penting dalam memastikan keberlanjutan program MBG. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makan Bergizi Indonesia (Gapembi), Alven Stony, menyampaikan bahwa pihaknya menggandeng Kamar Dagang Indonesia (Kadin) untuk memperluas keterlibatan UMKM dalam penyediaan dapur dan layanan makanan bergizi. Kolaborasi ini tidak hanya menyasar anak-anak sekolah dari jenjang PAUD hingga SMA, tetapi juga mencakup ibu hamil dan ibu menyusui, dua kelompok yang membutuhkan intervensi gizi tinggi.

Menurut Alven, pelibatan UMKM menciptakan efek ganda: memperluas akses masyarakat terhadap layanan gizi sekaligus menggerakkan roda perekonomian lokal. Melalui model ini, UMKM tidak hanya menjadi mitra penyedia pangan, tetapi juga mendapatkan kesempatan untuk naik kelas. Gapembi dan Kadin memastikan adanya pendampingan menyeluruh, mulai dari pengelolaan rantai pasok, pemenuhan standar kebersihan, hingga kualitas pangan yang harus sesuai standar kesehatan. Dengan dukungan pendampingan ini, UMKM mampu menghasilkan makanan yang sehat, aman, dan terjangkau serta layak diberikan kepada anak-anak dan kelompok rentan.

Di tingkat daerah, berbagai pemerintah provinsi juga menunjukkan komitmen kuat dalam memperkuat layanan MBG. Di Maluku, misalnya, Plh Sekretaris Daerah Maluku, Kasrul Selang, menyampaikan bahwa Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa telah menerbitkan SK Nomor 2145 Tahun 2025 tentang Pembentukan Satgas MBG. Pembentukan satgas ini memiliki tujuan strategis: memastikan penyaluran MBG berjalan dengan baik dan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat, termasuk masyarakat di wilayah terpencil. Kasrul menegaskan bahwa gubernur menginstruksikan agar setiap program, baik dari pemerintah pusat maupun provinsi, tidak boleh berhenti di atas kertas tetapi harus memberikan manfaat nyata.

Hal yang lebih penting, Kasrul menekankan bahwa seluruh anak dan ibu hamil di Maluku, termasuk yang tinggal di pulau-pulau kecil dan wilayah sulit akses, harus dapat menikmati program MBG. Pernyataan ini menegaskan bahwa pemerataan gizi merupakan kewajiban negara dalam menjamin generasi masa depan tumbuh lebih sehat, cerdas, dan kuat. Di provinsi yang berciri kepulauan seperti Maluku, layanan MBG memiliki tantangan logistik yang lebih besar. Karena itu, kehadiran Satgas MBG berfungsi untuk menjamin koordinasi lintas instansi berjalan lebih baik, mulai dari distribusi bahan pangan, edukasi gizi, hingga pemantauan dampak.

Keseluruhan langkah pemerintah dan kolaborasi lintas sektor ini menunjukkan bahwa agenda pemenuhan gizi bukan hanya program teknis, melainkan kebijakan strategis untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Pemenuhan gizi anak-anak di wilayah terpencil berarti memberikan kesempatan yang lebih setara bagi mereka untuk bertumbuh dan berkontribusi bagi negeri.

Kini, keberhasilan program MBG tidak hanya ditentukan oleh pemerintah pusat atau daerah, tetapi juga oleh dukungan publik. Distribusi MBG ke wilayah terpencil merupakan wujud nyata pemerataan gizi sebagai hak dasar setiap anak Indonesia. Saat negara terus memperluas infrastruktur dan layanan gizi, masyarakat, pelaku usaha, dan komunitas lokal perlu turut mendukung agar setiap anak, ibu hamil, dan keluarga di wilayah terpencil dapat menikmati manfaat MBG. Dengan bergandengan tangan, kita dapat mewujudkan generasi Indonesia yang lebih sehat, kuat, dan siap menghadapi masa depan.

(* Penulis merupakan Pemerhati Gizi Anak dan Balita asal Maluku

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *