Oleh: Syailendra Hari Yudho (*
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu kebijakan pemerintah yang paling menunjukkan bagaimana sebuah inisiatif sosial dapat menjadi motor ekonomi baru. Ketika negara memberikan arah yang jelas, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan publik, sektor swasta merespons dengan komitmen investasi, inovasi, serta kesiapan untuk terlibat dalam jangka panjang. Sinergi inilah yang kini mulai terlihat dalam ekosistem MBG, mulai dari investasi dapur penyedia pangan, hilirisasi pertanian, hingga masuknya teknologi pangan berbasis microprotein.
Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (KADIN), Anindya Novyan Bakrie, menegaskan bahwa MBG adalah contoh konkret bagaimana dunia usaha dan pemerintah dapat berkolaborasi secara produktif. Ia memandang program ini bukan sekadar intervensi sosial untuk memenuhi kebutuhan nutrisi masyarakat, melainkan sebuah model pembangunan yang mampu menggerakkan ekonomi daerah dan membuka peluang lapangan kerja yang masif. Ia menyampaikan bahwa hingga saat ini sebanyak 500 dapur SPPG telah terealisasi di berbagai wilayah, menunjukkan respons cepat dari pelaku usaha dalam mendukung kebijakan strategis nasional tersebut.
Nilai investasi yang ditanamkan pun tidak kecil. Dengan estimasi Rp1,5 miliar per dapur, maka total kontribusi anggota Kadin telah mencapai Rp750 miliar, dan seluruhnya tanpa melibatkan pembiayaan perbankan. Menurut Anindya, hal ini tidak hanya menunjukkan komitmen tinggi sektor usaha, tetapi juga mencerminkan tingkat kepercayaan pelaku industri kepada arah kebijakan pemerintah. Pelaku usaha melihat bahwa program MBG dikelola secara serius dan memberikan kepastian, sehingga mekanisme pembayaran pun berjalan lancar sebagaimana ia nilai dalam evaluasinya.
Namun, kontribusi terbesar program ini justru berada pada aspek tenaga kerja. Setiap dapur SPPG mampu menyerap sedikitnya 50 pekerja, sehingga keberadaan 500 dapur yang telah beroperasi diperkirakan telah menciptakan 25.000 lapangan kerja baru di berbagai daerah. Dampak ini tidak hanya meningkatkan pendapatan masyarakat, tetapi juga menciptakan rantai ekonomi baru yang melibatkan petani, UMKM pangan, pemasok logistik, hingga industri pendukung lainnya. Dari perspektif kebijakan publik, serapan tenaga kerja sebesar ini menunjukkan bahwa program MBG memiliki multiplier effect yang kuat.
Tidak berhenti di sana, Anindya juga menyampaikan bahwa program ini mulai mendorong perubahan struktur ekonomi daerah. Beberapa provinsi kini meminta pengembangan subsektor unggulan untuk memperkuat pasokan bahan baku lokal. Contohnya, daerah yang tertarik untuk memfokuskan diri pada produksi ayam petelur agar tidak lagi bergantung pada pasokan dari wilayah lain. Langkah tersebut menjadi penting agar daerah mampu menjaga ketahanan ekonomi ketika terjadi bencana, hambatan logistik, atau gangguan pasokan nasional. Dengan adanya permintaan rutin dari dapur MBG, daerah semakin terdorong mengembangkan kapasitas produksi untuk memenuhi standar, volume, dan kontinuitas pasokan.
Program SPPG juga menjadi pintu masuk bagi hilirisasi pertanian yang selama ini berjalan lambat. Menurut Anindya, MBG membuka peluang bagi petani untuk menikmati nilai tambah lebih besar, tidak hanya berhenti sebagai pemasok bahan mentah tetapi juga dapat terlibat dalam proses pengolahan pangan sederhana yang memenuhi standar program. Inisiatif semacam ini penting untuk mengubah pola ekonomi pertanian Indonesia yang selama ini terjebak dalam pola tradisional.
Dukungan terhadap MBG juga datang dari sektor teknologi pangan. Edwin Lee, Founder dan CEO Ultimeat (M) Sdn Bhd dari Malaysia, menyampaikan minat kuat perusahaannya untuk memperkuat suplai protein MBG melalui investasi besar di Indonesia. Ia menyatakan bahwa perusahaannya siap menanamkan investasi hingga Rp10 triliun untuk membangun dua fasilitas produksi microprotein. Teknologi microprotein yang dikembangkan Ultimeat berbasis singkong dan gula, sehingga seluruh rantai produksinya dapat memanfaatkan hasil pertanian lokal.
Edwin menekankan bahwa meskipun MBG menjadi salah satu pasar penting, perusahaan tidak akan sepenuhnya bergantung pada program pemerintah. Microprotein Ultimeat juga disiapkan untuk memenuhi kebutuhan pasar ritel, industri makanan olahan, dan sektor horeca. Ini berarti investasi tersebut memiliki nilai jangka panjang dan berpotensi menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi protein alternatif di kawasan Asia Tenggara. Dari sudut pandang kebijakan pangan, kehadiran industri seperti ini dapat memperkuat ketahanan protein nasional, sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor bahan baku tinggi protein.
Minat investasi asing terhadap sektor pangan Indonesia turut ditegaskan oleh Wakil Menteri Luar Negeri RI, Arrmanatha Nasir. Dalam berbagai forum bisnis, ia mengajak pebisnis Tiongkok untuk turut berinvestasi di sektor pangan Indonesia. Menurutnya, pelaksanaan MBG telah menciptakan rantai pasok baru dan permintaan tinggi terhadap produksi pangan, sehingga membuka peluang investasi besar di bidang pertanian, logistik, dan pemrosesan makanan. Pernyataan Wamenlu menunjukkan bahwa MBG tidak hanya dipandang sebagai program domestik, tetapi juga sebagai pintu masuk investasi internasional yang dapat memperkuat ekosistem pangan nasional.
Melihat keseluruhan dinamika tersebut, jelas bahwa MBG telah berkembang menjadi lebih dari sekadar program pemenuhan nutrisi. Ia kini menjadi ekosistem pembangunan yang melibatkan banyak pihak, membuka peluang bisnis, menciptakan lapangan kerja, memperkuat industri pangan lokal, mendorong inovasi teknologi, serta meningkatkan nilai tambah pertanian.
Di tengah transformasi besar ini, dukungan masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah daerah sangat diperlukan. Sinergi yang telah terbangun harus terus diperkuat agar manfaat program semakin luas dan keberlanjutan jangka panjangnya terjaga. Karena itu, penting bagi seluruh pihak untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis sebagai bagian dari upaya menyehatkan generasi bangsa sekaligus memperkuat fondasi ekonomi nasional. Dengan dukungan yang konsisten, MBG akan menjadi warisan kebijakan yang berdampak nyata bagi masa depan Indonesia.
(* Penulis merupakan Konsultan Kebijakan Publik Bidang Sosial













Leave a Reply