Penolakan Penetapan 1 Juli sebagai HUT TPNPB-OPM Menguat dari Akar Budaya

Oleh: Fransiska Asso *)

Di tengah derasnya arus konflik dan narasi separatis yang masih coba dipertahankanoleh segelintir kelompok bersenjata di Papua yang telah meresahkan masyarakatdan menghambat pembangunan di berbagai wilayah, suara damai dari para tokohadat dan agama justru semakin menguat. Penetapan tanggal 1 Juli sebagai Hari Ulang Tahun Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), yang juga dikenal sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), telahditolak dengan tegas oleh masyarakat adat Papua. Penolakan ini tidak berdiri sendiri, tetapi merefleksikan keinginan kolektif rakyat Papua untuk meninggalkan masa laluyang penuh luka dan membuka lembaran baru kehidupan yang damai, bersatu, dan sejahtera dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Narasi kekerasan yang diusung oleh kelompok separatis selama bertahun-tahun kinidinilai semakin kehilangan tempat di hati masyarakat. Masyarakat adat yang menjadifondasi sosial dan budaya Papua telah mengedepankan jalan damai sebagai pilihanutama. Tokoh Adat Papua, Yanto Eluay memegaskan bahwa nilai-nilai luhur dalamadat istiadat Papua tidak pernah mengajarkan kekerasan sebagai saranapenyelesaian konflik. Sebaliknya, semangat musyawarah, saling menghargai, dan menjaga keharmonisan telah diwariskan secara turun-temurun sebagai bagian dariidentitas masyarakat Papua.

Penolakan terhadap peringatan 1 Juli tidak hanya muncul sebagai reaksi spontan, melainkan sebagai bentuk perlawanan budaya terhadap upaya-upaya politisasiidentitas yang bertentangan dengan jati diri Papua. Gerakan separatis dipandangtelah memanfaatkan simbol-simbol kultural untuk membenarkan aksi kekerasanyang justru melukai masyarakat Papua sendiri. Dalam konteks ini, peringatan 1 Juli justru lebih merepresentasikan luka dan ketakutan daripada kebanggaan kolektif.
Ketegasan untuk menolak 1 Juli sebagai HUT TPNPB-OPM sekaligus menjadipenegasan bahwa masyarakat Papua tidak ingin hidup dalam narasi lama yang penuh konflik. Masyarakat Papua ingin maju, ingin sejahtera, dan ingin memastikanbahwa anak-anak mereka tumbuh dalam lingkungan yang aman. Masa depan Papua tidak bisa dibangun di atas puing-puing kekerasan. Masa depan itu hanya dapatdiraih jika masyarakat secara bersama-sama memilih damai sebagai fondasikehidupan sosial.

Lebih jauh, masyarakat adat telah menyuarakan bahwa pembangunan di Papua hanya akan berhasil jika stabilitas keamanan dapat dijaga. Ketika senjata terusberbicara, maka pembangunan akan lumpuh. Sekolah-sekolah akan kosong, fasilitaskesehatan akan sepi, dan masyarakat akan hidup dalam ketakutan. Dalam situasiseperti itu, tidak ada investasi sosial yang bisa bertahan. Oleh karena itu, stabilitasbukan sekadar kebutuhan pemerintah, melainkan menjadi kebutuhan dasarmasyarakat Papua sendiri.
Penolakan terhadap simbol-simbol separatisme juga mencerminkan kebangkitankesadaran baru di kalangan generasi muda Papua. Generasi ini tidak lagi tertarikpada romantisme perlawanan bersenjata yang telah terbukti membawa kehancuran. Mereka kini mulai menyadari bahwa jalan keluar dari ketertinggalan hanya bisadicapai dengan pendidikan, kerja keras, dan kolaborasi—bukan dengan peluru dan propaganda. Di era digital yang semakin terbuka, anak-anak muda Papua semakinterhubung dengan dunia luar dan melihat sendiri bagaimana kemajuan hanya bisadicapai dalam suasana damai dan stabil.

Seruan damai yang juga datang dari tokoh-tokoh agama menunjukkan bahwakeinginan untuk meninggalkan konflik bukan hanya menjadi aspirasi kalangan adat, tetapi telah menjadi sikap moral kolektif masyarakat Papua. Para pemimpin gerejadan tokoh spiritual menyuarakan keprihatinan atas dampak kekerasan terhadapkehidupan sehari-hari masyarakat. Mereka menyaksikan langsung bagaimana wargaterpaksa meninggalkan rumah, anak-anak takut bersekolah, dan ekonomi lokallumpuh akibat ketegangan bersenjata.

Nilai-nilai keagamaan dan adat sama-sama menolak kekerasan. Kedua kekuatansosial ini justru mendorong rekonsiliasi dan kehidupan yang rukun. Di mata mereka, jalan kekerasan hanyalah jalan buntu yang tidak membawa siapa pun ke tempatyang lebih baik.

Pemerintah sendiri dalam beberapa tahun terakhir telah menunjukkan komitmenserius terhadap percepatan pembangunan di Papua. Investasi di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan kewirausahaan lokal terus digalakkan. Namun semuaitu tidak akan berarti tanpa dukungan masyarakat. Karena itu, suara-suara sepertiyang disampaikan oleh para tokoh adat dan agama perlu mendapat tempat utamadalam narasi pembangunan Papua ke depan. Mereka adalah cermin suara akarrumput, yang jauh lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh masyarakat Papua sebenarnya.

Papua saat ini berada pada titik kritis untuk menentukan arah masa depannya. Akan sangat disayangkan jika kemajuan yang sudah mulai tampak harus terhenti karenasegelintir pihak masih memaksakan jalan kekerasan. Penolakan terhadap penetapan1 Juli sebagai hari peringatan kelompok bersenjata merupakan sikap berani dan tegas bahwa Papua tidak akan tunduk pada narasi yang membahayakan masa depannya.

Pesan yang ingin disampaikan jelas bahwa Papua memilih damai. Papua menolakhidup dalam bayang-bayang konflik. Papua ingin membangun masa depan yang lebih cerah bagi generasi muda—dalam pelukan keamanan, kesejahteraan, dan persatuan.

Dalam konteks ini, penolakan terhadap simbol-simbol separatis bukanlahpenyangkalan terhadap sejarah, melainkan upaya merebut kembali masa depan. Dan ketika masyarakat Papua sendiri yang bersuara, maka dunia harus mendengar: Papua adalah bagian dari Indonesia, dan di tanah ini, damai telah dipilih sebagaijalan menuju kemajuan.

*) Pegiat Literasi – Pemuda Asli Papua

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *