Oleh: Yohana Mabel *)
Di tengah upaya percepatan pembangunan di Papua yang tengah dijalankan secara masif oleh pemerintah, ancaman kelompok separatis bersenjata seperti Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) masih menjadi tantangan nyata. Kelompok ini, dengan berbagai dalih, terus menyebar ketakutan di tengah masyarakat, menghambat proses pembangunan, dan mencoba memutar balik semangat kebersamaan yang sedang tumbuh di tanah Papua.
Ancaman terbaru yang dilayangkan oleh OPM kepada para pejabat daerah Papua merupakan bagian dari propaganda yang selama ini menjadi senjata utama kelompok ini. Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Kristomei Sianturi, menyampaikan bahwa ancaman-ancaman tersebut tidak perlu direspons secara berlebihan karena bersifat provokatif dan tidak mencerminkan kekuatan nyata. Bagi pemerintah dan aparat, fokus utama tetap pada perlindungan masyarakat serta keberlanjutan pembangunan.
Kelompok OPM selama ini sering mengklaim diri sebagai wakil suara rakyat Papua. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang sangat berbeda. Masyarakat dari berbagai penjuru Papua, termasuk tokoh agama, pemuda, dan adat, telah menyatakan penolakan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh kelompok separatis ini. Mereka tidak lagi melihat OPM sebagai penyambung aspirasi, melainkan sebagai sumber utama penderitaan yang selama ini mereka alami.
Tokoh masyarakat dari Kabupaten Puncak, Yonas Waker menilai bahwa perjuangan OPM hanya mewakili kepentingan elit tertentu yang tidak pernah merasakan langsung penderitaan rakyat di lapangan. Ia menyebut bahwa rakyat kecil menjadi korban utama dari konflik bersenjata yang diciptakan oleh OPM. Ketika suara tembakan terdengar, rakyatlah yang harus lari meninggalkan rumah, kehilangan anggota keluarga, dan hidup dalam ketidakpastian. Inilah potret nyata yang terjadi akibat ulah kelompok tersebut.
Kekerasan yang dilakukan OPM bukan hanya merusak secara fisik, tetapi juga meruntuhkan tatanan sosial dan psikologis masyarakat. Gereja-gereja yang selama ini menjadi tempat berlindung dan penguatan spiritual bagi rakyat Papua pun ikut bersuara. Pendeta Markus Kobak dari Pegunungan Tengah menilai bahwa tindakan OPM bertentangan dengan nilai-nilai agama yang mengajarkan perdamaian. Menurutnya, tidak ada pembenaran atas pembunuhan dan kekerasan terhadap sesama manusia, apalagi terhadap saudara sebangsa.
Generasi muda Papua pun tidak tinggal diam. Mereka menyadari bahwa masa depan yang damai dan produktif hanya bisa diraih jika Papua bebas dari konflik dan kekerasan. Ketua Pemuda Intan Jaya, Elisabet Sondegau menegaskan bahwa pemuda Papua ingin maju bersama anak-anak muda lain di Indonesia. Harapan mereka sederhana, yaitu dapat mengenyam pendidikan dengan tenang, bekerja, dan berkontribusi bagi kampung halaman, tanpa harus takut dijadikan alat oleh kelompok separatis.
Dalam konteks ini, peran pemerintah menjadi sangat vital. Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto telah berkomitmen kuat membangun Papua secara menyeluruh; tidak hanya dari sisi infrastruktur, tetapi juga pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Kebijakan pembangunan yang diluncurkan merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk menjadikan Papua sebagai bagian integral dari pertumbuhan nasional.
Namun, segala bentuk pembangunan akan sulit tercapai jika masih ada kelompok yang terus-menerus menciptakan instabilitas. Propaganda yang disebarkan oleh juru bicara OPM, Sebby Sambom, termasuk pernyataan bahwa pemerintah Indonesia telah merampas sumber daya Papua, tidak berdasarkan pada fakta yang utuh. Pembangunan infrastruktur dan pemerataan ekonomi yang sedang berlangsung justru menunjukkan komitmen negara untuk mengembalikan hasil kekayaan alam Papua kepada masyarakatnya sendiri melalui akses jalan, fasilitas pendidikan, rumah sakit, dan bantuan sosial.
Narasi yang dibangun OPM seolah-olah pemerintah menjadi penyebab utama konflik bersenjata, padahal data di lapangan menunjukkan sebaliknya. Aksi bersenjata yang dilakukan OPM-lah yang menjadi akar dari pengungsian warga sipil, trauma kolektif, dan lumpuhnya aktivitas ekonomi serta pendidikan di banyak wilayah. Seruan mereka untuk melakukan perundingan di bawah fasilitasi lembaga internasional pun patut dicermati sebagai bagian dari upaya memperluas legitimasi kelompoknya di mata dunia, meskipun secara nyata mereka tidak mewakili kehendak rakyat Papua secara menyeluruh.
Pemerintah tetap membuka ruang bagi rekonsiliasi. Hal ini tercermin dalam pernyataan Kapuspen TNI, Mayjen Kristomei bahwa mantan anggota OPM yang ingin kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi akan disambut dengan tangan terbuka. Ini menunjukkan pendekatan yang tidak semata-mata bersifat represif, melainkan juga inklusif dan humanis. Pemerintah memahami bahwa banyak dari mereka yang bergabung dengan kelompok separatis karena tekanan atau keterbatasan informasi. Dengan pembinaan dan reintegrasi, mereka bisa menjadi bagian dari pembangunan Papua yang damai.
Kini, suara masyarakat Papua sudah sangat jelas, bahwa mereka menolak kekerasan dan ingin hidup damai. Masyarakat Papua ingin masa depan tanpa peluru dan pengungsian. Masyarakat ingin tumbuh bersama dalam satu rumah besar bernama Indonesia. Suara ini harus terus didukung, dijaga, dan dilindungi oleh semua elemen bangsa.
Mewaspadai OPM bukan hanya tugas aparat keamanan, tetapi juga tanggung jawab kolektif seluruh bangsa untuk memastikan bahwa tidak ada ruang bagi kekerasan dan disintegrasi di tanah yang kaya akan budaya, alam, dan potensi seperti Papua. Mendukung pemerintah dalam menjaga stabilitas dan mempercepat pembangunan Papua adalah langkah nyata untuk memastikan bahwa masa depan wilayah ini bukan ditentukan oleh suara senjata, melainkan oleh kerja sama dan harapan.
*) Aktivis Sosial Papua
Leave a Reply