Oleh : Darius Daryono )*
Demokrasi Indonesia kembali diuji melalui mekanisme Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang digelar sebagai kelanjutan dari proses Pilkada 2024. Dalam pelaksanaannya, PSU bukan sekadar pengulangan teknis pemilu, tetapi manifestasi dari komitmen bangsa untuk menjunjung tinggi asas keadilan, partisipasi rakyat, dan supremasi hukum. Oleh karena itu, sikap saling menghormati hasil PSU menjadi fondasi penting demi menjaga legitimasi pemerintahan daerah dan memperkuat demokrasi substansial yang sedang dibangun.
Di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, hasil PSU telah menetapkan pasangan Nanda Indira dan Antonius Muhammad Ali sebagai Bupati dan Wakil Bupati terpilih. Proses ini berlangsung setelah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pesawaran secara resmi mengusulkan pengesahan kepada Pemerintah Provinsi Lampung.
Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah (Otda) Setda Provinsi Lampung, Binarti Bintang, menyampaikan bahwa pihaknya menerima dokumen pengusulan pengangkatan. Dokumen ini sedang diproses dan akan segera diteruskan kepada Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, untuk dikirim ke Kementerian Dalam Negeri sebagai bagian dari prosedur pelantikan. Ia menegaskan bahwa tahapan ini adalah bentuk keterbukaan dan kesungguhan dalam memastikan bahwa seluruh proses demokrasi berjalan sesuai regulasi yang berlaku.
Hal serupa terjadi di Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, melalui surat resminya bernomor 1183/PL.02.7-5D/06/2025 tertanggal 9 Juli 2025, menekankan bahwa penetapan pasangan calon terpilih hasil PSU harus dilakukan paling lambat tiga hari setelah putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan.
Ketua KPU RI, Muhammad Afifuddin menyebut bahwa tenggat waktu ini penting demi menjamin kepastian hukum dan transisi pemerintahan yang tertib. Pihaknya menyatakan penetapan pasangan calon dilakukan paling lama tiga hari setelah putusan MK dibacakan. Ia juga mengingatkan agar seluruh KPU kabupaten/kota, termasuk Mahulu, menyampaikan usulan pengesahan dan pengangkatan pasangan calon terpilih kepada DPRD setempat paling lambat satu hari setelah penetapan. Prosedur ini menjadi bagian integral dari sistem pemilu yang akuntabel dan transparan, sebagaimana diatur dalam PKPU Nomor 18 Tahun 2024.
KPU juga meminta setiap keputusan penetapan untuk segera diunggah dalam bentuk tautan digital ke spreadsheet resmi KPU RI, sembari memastikan pelaksanaan berlangsung kondusif dan aman. Tak hanya Mahulu, pengawasan secara langsung juga dilakukan oleh KPU Provinsi terhadap seluruh tahapan, sehingga tidak ada ruang untuk pelanggaran atau manipulasi hasil.
Sementara itu, di Papua, persiapan PSU digarap dengan serius. Ketua KPU Papua, Diana Simbiak, menjelaskan bahwa pihaknya telah menggelar sosialisasi kepada berbagai lapisan masyarakat, termasuk tokoh agama, tokoh perempuan, dan penyandang disabilitas. Tujuan dari sosialisasi ini adalah memastikan bahwa pesan-pesan mengenai PSU dapat tersebar luas secara efektif hingga ke komunitas akar rumput.
Pasca putusan MK dan tahapan PSU yang nantinya akan terlaksana di tanggal 6 Agustus 2025 ini, ketika masuk di kelompok-kelompok mereka bisa menyampaikan informasi kepada warga masyarakat yang ada di Provinsi Papua. Keberhasilan PSU sangat tergantung pada kesiapan penyelenggara, khususnya Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang menjadi ujung tombak di lapangan. Untuk itu, bimbingan teknis dilakukan secara menyeluruh dan berjenjang dari KPU Provinsi ke Panitia Pemilihan Distrik (PPD), Panitia Pemungutan Suara (PPS), hingga KPPS.
Tak hanya itu, KPU Papua juga akan memanfaatkan sistem rekapitulasi digital (Sirekap), di mana hasil rekapitulasi suara di tingkat TPS dapat difoto dan langsung dipublikasikan. Jadi masyarakat di Papua akan ikuti hasil di setiap TPS. KPU RI sudah akan mendatangkan timnya nanti di KPU provinsi tetapi juga akan tersebar di 9 kabupaten kota. Untuk menunjang konektivitas, KPU Papua juga berkoordinasi dengan Kementerian Kominfo terkait penyediaan jaringan Starlink di titik-titik rawan jaringan.
Dari ketiga kasus PSU tersebut, dapat disimpulkan bahwa seluruh proses berjalan dalam koridor hukum yang tertib dan diawasi secara ketat. Hal ini menegaskan bahwa PSU bukanlah cerminan kegagalan, melainkan mekanisme korektif dalam demokrasi untuk memperbaiki proses yang dianggap tidak valid. Dalam konteks ini, hasil PSU wajib dihormati oleh seluruh elemen bangsa, termasuk peserta pilkada, pendukungnya, serta masyarakat umum.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, menegaskan bahwa mekanisme PSU adalah bentuk konkret dari keberanian sistem demokrasi Indonesia dalam memperbaiki diri. Ia menyebut bahwa menghormati hasil PSU adalah bagian dari kedewasaan politik dan komitmen terhadap supremasi hukum.
PSU bukan hanya tentang penghitungan ulang suara, tetapi juga tentang membangun kepercayaan publik terhadap sistem pemilu kita. Jika hasilnya tidak dihormati, maka seluruh proses menjadi sia-sia. Inilah saatnya kita buktikan bahwa kita mampu menjadi bangsa yang dewasa dalam demokrasi.
Demokrasi bukan hanya sebatas pemilihan, melainkan bagaimana seluruh prosesnya dihargai dan dijaga martabatnya. Jika PSU telah digelar dengan jujur, adil, dan transparan, maka hasilnya harus diterima dengan lapang dada, apa pun bentuknya. Inilah esensi demokrasi: bukan tentang siapa yang menang atau kalah, tetapi bagaimana seluruh pihak mampu menjaga kehormatan proses yang telah dilalui.
Dengan menghormati hasil PSU, bangsa ini tidak hanya menjaga legitimasi kepemimpinan daerah, tetapi juga menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara demokratis yang matang, terbuka terhadap koreksi, dan selalu berpihak kepada kedaulatan rakyat.
)* Pengamat Politik Dalam Negeri
Leave a Reply