Mengokohkan Sekolah Rakyat Lewat Pendekatan Holistik

Oleh: Anik Tuniaty *)

Program Sekolah Rakyat yang baru saja diresmikan pemerintah kembali menunjukkan kapasitasnya tidak hanya dalam menyediakan akses pendidikan, tetapi juga dalam mengutamakan kesehatan dan kesejahteraan psikologis siswa. Beberapa kritik mencuat terkait kabar beberapa anak yang memilih kembali ke rumah karena kendala adaptasi, bahkan terpapar sakit ringan. Namun, alih-alih menjadi tanda kegagalan, fenomena ini adalah refleksi alami proses penyesuaian yang sejatinya membutuhkan dukungan holistik, bukan sekadar fasilitas bangunan dan kurikulum.

Menteri Sosial menegaskan bahwa penerimaan siswa ke Sekolah Rakyat selalu dilakukan dengan persetujuan penuh orang tua dan melalui seleksi kesehatan. Tidak ada paksaan, melainkan dialog terbuka yang menghormati hak keluarga. Dari lima siswa yang sempat kembali, dua memilih pulang kembali, sementara tiga lainnya terus dipantau dan berkoordinasi intensif dengan orang tua. Kejadian tujuh siswa yang absen karena perut kembung atau cacar justru menjadi bukti bahwa kurva adaptasi tubuh dan psikologis perlu diantisipasi sejak awal.

Transisi lingkungan hidup termasuk pola makan, aktivitas, dan interaksi sosial dapat memicu stres fisiologis yang menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu, kehadiran layanan kesehatan, dokter, serta psikolog di tiap sekolah bukanlah sekadar pelengkap, melainkan kebutuhan primer yang harus ada sebelum anak-anak mulai menerima pelajaran akademis. Dengan begitu, program Sekolah Rakyat mengadopsi prinsip “whole child development”, yang mengintegrasikan kebutuhan fisik, emosional, dan sosial siswa ke dalam setiap rancangan kegiatan.

Presiden Prabowo menggambarkan koperasi sebagai metafora lidi: satu batang tak berarti banyak, tetapi jika bersatu menjadi kuat. Rasanya, prinsip yang sama berlaku di Sekolah Rakyat: rasa kebersamaan dan dukungan kolektif menjadi fondasi utama. Saat Gus Ipul menikmati makan malam bersama siswa, gulai ayam, sayur asem, tempe bacem, buah, dan susu terlihat antusiasme yang membuncah, bahkan ada yang meminta tambahan nasi. Momen ini melampaui sekadar perut kenyang, tetapi membangun ikatan emosional antara pemimpin, guru, dan murid unsur penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman dan penuh perhatian.

Kepala SRMP 10 Bogor, Fitri Puspita Sari menegaskan rutinitas siswa yang padat ibadah dan olahraga sejak pukul 04.00 hingga pelajaran sore hari membutuhkan stamina fisik dan mental. Proses penyesuaian, menurutnya, masih berlangsung. Dalam teori perkembangan anak, adaptasi lingkungan baru, diiringi transisi bertahap, sehingga beban tugas dan ekspektasi tidak menimbulkan kelelahan berlebih. Program Sekolah Rakyat sudah mengambil langkah tepat dengan menyediakan jadwal seimbang antara aktivitas fisik, spiritual, dan akademik.

Salah satu tantangan terbesar pendidikan terpadu adalah memastikan kesehatan mental siswa mendapat perhatian setara dengan kurikulum. Kehadiran psikolog di sekolah Rakyat berperan sebagai garda depan dalam mendeteksi tanda-tanda stres atau kecemasan. Layanan konseling kelompok dan individu perlu digalakkan secara rutin, bukan hanya kala krisis muncul. Dengan demikian, anak-anak yang mengalami homesickness atau tekanan adaptasi dapat dibantu segera sebelum gejala berkembang menjadi masalah yang lebih serius.

Pendekatan ini selaras dengan konteks lingkungan mikro rumah, sekolah, teman sebaya harus mendukung pertumbuhan anak secara harmonis. Sekolah Rakyat, lewat keterlibatan orang tua dalam persetujuan masuk dan komunikasi berkelanjutan, menguatkan sistem pendukung mikro tersebut. Bila guru, psikolog, dan orang tua bekerja sinergis, risiko gangguan kesehatan mental dapat ditekan, sementara rasa aman dan keterikatan sosial terjaga.

Kritik terhadap Sekolah Rakyat kerap memandang gejala adaptasi sebagai kelemahan program, padahal justru menunjukkan keberanian pemerintah mengakui dan merespons rendahnya kesejahteraan awal siswa. Saat Asya Asyifa, salah satu siswa meneteskan air mata bahagia karena bisa bersekolah kembali dengan tiga kali makan sehari, ia memegang harapan yang lebih besar daripada sekadar fisik terlindungi: ia merasakan bahwa dirinya dihargai dan diperhatikan. Harapan inilah yang menjadi modal psikologis penting agar anak-anak termotivasi mengejar impian mulai dari cita-cita Paskibraka Vikar Ziyad hingga aspirasi belajar lain di masa depan.

Secara psikososial, program ini turut mengubah narasi identitas siswa desa dari “miskin dan terpinggirkan” menjadi “berdaya dan terhormat”. Pemberian makan bernutrisi dan enak, fasilitas medis, dan pendekatan personal menjadikan mereka merasa dihargai. Rasa percaya diri ini, menurut penelitian, berdampak positif pada prestasi belajar anak yang merasa diterima cenderung lebih aktif dan kreatif di kelas.

Beberapa langkah kunci perlu diperkuat agar Sekolah Rakyat semakin optimal. Pertama, penyesuaian pola hidup baru bagi siswa dan orang tua harus dilakukan secara transisi bertahap melalui orientasi dan pelatihan, misalnya workshop gizi dan teknik adaptasi psikologis. Kedua, kapasitas guru harus ditingkatkan dengan pelatihan literasi psikososial agar mereka dapat mengenali dan merespons gejala stres siswa secara dini. Ketiga, kolaborasi dengan tokoh masyarakat dan LSM setempat perlu diperkuat untuk membangun jaringan pendukung psikososial di luar jam sekolah, sehingga anak-anak mendapatkan perhatian holistik baik di dalam maupun di luar kelas. Terakhir, evaluasi berkala melalui survei kepuasan siswa dan orang tua setiap semester harus digelar untuk memantau dampak emosional dan fisik secara sistematis, sekaligus menjadi dasar perbaikan program secara berkesinambungan.

Program Sekolah Rakyat bukan sekadar kebijakan sosial, melainkan wujud nyata negara hadir dalam memenuhi kebutuhan dasar pendidikan dan kesehatan anak-anak. Dengan landasan psikologi pendidikan dan pendekatan holistik, Sekolah Rakyat mampu menepis kritik sebagai program “paksa” atau “bermasalah” dan justru menjadi model inklusif yang mengutamakan kesejahteraan fisik dan mental siswa. Inilah ikhtiar memerdekakan anak-anak secara utuh bukan hanya dari kemiskinan materi, tetapi juga dari ketidakpastian dan ketakutan adaptasi.

*) Pengamat Sosial

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *