Pemerintah Komitmen Tingkatkan Literasi Hadapi Isu Indonesia Cemas

Oleh: Monica Montiro )*

Akhir-akhir ini, ruang digital maupun dunia nyata diwarnai oleh riuhnya wacana “Indonesia Cemas”. Narasi yang semula digagas sebagai bentuk kritik sosial tersebut lambat laun berkembang menjadi gelombang provokasi yang berpotensi menggoyahkan stabilitas. Tak jarang, isu-isu yang muncul tidak bersandar pada data faktual, melainkan dibumbui oleh opini yang penuh muatan emosional. Dalam menghadapi situasi ini, pemerintah tidak tinggal diam. Langkah-langkah peningkatan literasi publik, penguatan komunikasi publik, serta pencegahan disinformasi terus digencarkan sebagai bagian dari komitmen menjaga ketenangan dan nalar sehat masyarakat.

Gerakan #IndonesiaCemas sejatinya mengklaim mewakili keresahan masyarakat terhadap kondisi nasional. Namun dalam banyak aspek, narasi yang dibangun cenderung hiperbolis dan minim rujukan ilmiah. Bahkan, sebagian besar kampanye yang disuarakan di media sosial maupun demonstrasi di jalanan terkesan lebih bersifat agitasi ketimbang edukasi. Inisiator Gerakan Nurani Kebangsaan (GNK), Habib Syakur Ali Mahdi, menyampaikan bahwa pola pembentukan narasi yang berbahaya ini sangat rawan disusupi oleh kelompok-kelompok anti-konstitusi. Di sisi lain, pola yang berujung pada aksi jalanan ini bukanlah solusi. Menurutnya, bangsa Indonesia kini justru butuh stabilitas. Habib Syakur dengan tegas menyoroti pentingnya menjaga ketertiban dan kewarasan publik di tengah transisi kekuasaan yang tengah berlangsung.

Dalam iklim demokrasi, kritik tentu dibolehkan. Namun, kritik yang sehat semestinya dibarengi dengan tawaran solusi dan disampaikan melalui forum yang bermartabat. Ketika kritik berubah menjadi agitasi tanpa arah, bukan hanya tidak konstruktif, tapi juga membuka celah bagi kekuatan-kekuatan destruktif yang ingin memecah belah bangsa. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kini tengah menjalankan pemerintahan dengan visi Indonesia Emas 2045. Proses ini berlangsung dalam koridor hukum yang sah, damai, dan demokratis. Di tengah fase krusial ini, bangsa Indonesia mestinya bersatu untuk mendukung kelancaran kepemerintahan Prabowo-Gibran.

Peneliti dari Centre for Islamic and Ethnic Studies (CIE), Muhammad Chaerul menegaskan bahwa di tengah situasi seperti sekarang, upaya membangun stabilitas nasional semestinya didukung, bukan dirusak oleh mobilisasi massa yang tidak menawarkan solusi nyata. Menurutnya warga negara justru harus mengawal proses transisi menuju pemerintahan agar berjalan mulus, bukan memperkeruhnya dengan narasi emosional yang membingungkan publik.

Masyarakat perlu memahami bahwa setiap fase dalam pemerintahan memiliki tantangan tersendiri, dan stabilitas adalah fondasi utama untuk menyelesaikan tantangan-tantangan tersebut. Tanpa stabilitas, program pembangunan, kesejahteraan sosial, dan pemerataan ekonomi akan terhambat, dan pada akhirnya, rakyat sendiri yang dirugikan. Gerakan mahasiswa selalu menjadi elemen penting dalam sejarah bangsa ini. Namun, dalam konteks hari ini, muncul pertanyaan kritis: apakah gerakan mahasiswa masih berangkat dari analisis akademik dan idealisme, atau justru mulai terjebak dalam polarisasi politik?

Seorang aktivis dari Corong Rakyat, Hasan mengatakan bahwa tagar-tagar seperti #IndonesiaCemas tampaknya lebih didorong oleh emosi ketimbang kajian akademik yang seharusnya menjadi ciri utama gerakan mahasiswa. Ia menyoroti bahwa sebagian gerakan kini cenderung kehilangan arah dan identitas, berubah menjadi alat kepentingan politik tertentu. Menurutnya, sejumlah pihak menilai gerakan ini justru terjebak dalam polarisasi politik dan mulai keluar dari identitasnya sebagai kelompok intelektual kampus.

Kekritisan mahasiswa tetap dibutuhkan. Namun, kekritisan yang produktif hanya bisa lahir dari ruang intelektual yang jernih, bukan dari ruang gaduh yang dibangun oleh framing media sosial dan opini viral. Pemerintah melalui berbagai kementerian dan lembaga telah mengambil langkah serius dalam meningkatkan literasi publik, khususnya literasi digital dan literasi media. Ini bukan semata-mata langkah reaktif, tetapi bagian dari kebijakan strategis jangka panjang untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas, tahan terhadap hoaks, dan tidak mudah terprovokasi.

Program literasi digital yang digagas oleh Kominfo, pelibatan tokoh masyarakat, kampus, hingga komunitas-komunitas literasi, merupakan bentuk nyata dari upaya membangun daya tahan sosial terhadap narasi-narasi destruktif. Literasi publik tidak hanya membuat masyarakat lebih cakap menyaring informasi, tetapi juga mendorong partisipasi publik yang lebih sehat dalam kehidupan demokrasi.

Selain itu, kehadiran forum diskusi publik yang melibatkan pakar, akademisi, dan masyarakat sipil kini mulai digalakkan untuk menyeimbangkan ruang wacana. Pemerintah juga terus membuka kanal komunikasi terbuka agar aspirasi masyarakat dapat disampaikan tanpa harus melalui cara-cara yang destruktif.

Di tengah kepemerintahan Prabowo-Gibran, kita dihadapkan pada pilihan penting sebagai bangsa: menjadi bagian dari pembangunan yang konstruktif atau larut dalam kegaduhan yang menghambat kemajuan. Pemerintah telah menunjukkan komitmennya dalam memperkuat literasi, menjaga stabilitas, dan membuka ruang partisipasi yang sehat.

Sudah saatnya kita bersikap dewasa dalam menyikapi isu-isu nasional. Jangan mudah terprovokasi oleh narasi buruk yang tidak berdasar dan cenderung mendiskreditkan pemerintah. Bangsa ini butuh kerja sama semua elemen untuk maju, bukan saling curiga dan menjatuhkan. Mari kita dukung program-program strategis pemerintahan Prabowo-Gibran dan jaga semangat persatuan demi Indonesia yang lebih kuat, sejahtera, dan beradab.

)* Pengamat Pemerintahan

[edRW]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *