Pemungutan Suara Ulang Perkuat Legitimasi Pilkada

Oleh: Gilang Wahyuda )*

Pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) dalam Pilkada tidak sekadar menjadi penyesuaian teknis terhadap kekeliruan prosedural. Lebih dari itu, langkah ini mencerminkan komitmen serius negara dalam menjaga kualitas demokrasi dan memperkuat legitimasi hasil pemilihan kepala daerah. Kehadiran negara dalam setiap tahapan PSU menjadi penanda bahwa proses demokrasi di Indonesia semakin berorientasi pada keadilan dan keterbukaan.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), August Mellaz, menilai bahwa tingginya partisipasi masyarakat dalam PSU menjadi indikator utama bahwa proses ini dijalankan secara sah dan didukung oleh rakyat. Ia menekankan bahwa keterlibatan pemilih dalam pemungutan suara ulang menegaskan pemahaman publik terhadap pentingnya suara individu dalam menentukan masa depan daerah. Dengan adanya keikutsertaan aktif dari pemilih, hasil pilkada pun menjadi lebih representatif terhadap kehendak masyarakat.

Menurut August, pelaksanaan PSU secara terbuka dan sesuai regulasi merupakan wujud nyata dari komitmen penyelenggara pemilu untuk menjamin integritas hasil pemilihan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap suara rakyat tidak hanya dihitung secara administratif, tetapi juga dihargai sebagai bagian dari legitimasi moral pemerintahan. Dalam konteks ini, PSU tidak boleh dianggap sebagai beban tambahan, melainkan sebagai mekanisme demokrasi yang menjamin kesetaraan dan keadilan.

Dukungan terhadap langkah ini juga datang dari pemerintah pusat. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Budi Gunawan, menyampaikan bahwa pemerintah memastikan seluruh tahapan PSU dan pilkada ulang pada 2025 berjalan aman, tertib, dan sesuai ketentuan hukum. Ia menegaskan bahwa pemerintah hadir bukan hanya sebagai penjamin keamanan, tetapi juga sebagai pengawal legitimasi proses demokrasi itu sendiri. Negara, melalui berbagai lembaga, memberikan perlindungan penuh atas hak pilih warga negara dan memastikan tidak ada intervensi yang merusak jalannya demokrasi.

Budi Gunawan melihat bahwa keberhasilan PSU bukan hanya akan menentukan siapa yang menang, tetapi juga mencerminkan kedewasaan demokrasi Indonesia. Pemerintah menilai langkah ulang ini sebagai bukti bahwa penyelesaian sengketa pemilu dapat ditempuh melalui mekanisme hukum dan bukan melalui tekanan massa atau tindakan anarkis. Pendekatan seperti ini memperlihatkan bahwa sistem demokrasi Indonesia memiliki ruang koreksi yang sehat dan sah secara hukum.

Hal serupa disampaikan oleh akademisi Universitas Lambung Mangkurat, Prof. Bachruddin Ali Akhmad, yang menilai bahwa PSU memiliki nilai korektif terhadap proses politik lokal. Ia menekankan bahwa margin kemenangan dalam PSU yang sering kali tipis menunjukkan betapa pentingnya setiap suara. Menurutnya, pemungutan suara ulang bukan hanya solusi prosedural, tetapi juga jalan moral untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap hasil pemilihan.

Prof. Bachruddin menambahkan bahwa PSU memberikan legitimasi ganda bagi kepala daerah terpilih. Legalitas diperoleh melalui pemenuhan syarat formal pemilu, sementara legitimasi sosial tumbuh dari penerimaan publik terhadap proses yang transparan. Ia menilai bahwa kepala daerah yang terpilih melalui PSU akan memiliki pijakan politik yang kuat karena telah melalui proses demokrasi yang lebih ketat dan terbuka.

Dalam konteks stabilitas pemerintahan, PSU memiliki fungsi strategis. Hasil Pilkada yang diperoleh melalui proses ulang akan lebih sulit digugat karena sudah melalui pengujian berlapis, termasuk koreksi oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini akan memperkuat transisi kekuasaan dan meminimalisir konflik berkepanjangan di tingkat lokal. Proses seperti ini penting untuk mencegah polarisasi politik yang dapat menghambat pembangunan.

Lebih jauh, pelaksanaan PSU memperlihatkan bahwa demokrasi Indonesia tidak berjalan stagnan. Justru, dengan membuka ruang bagi perbaikan dan pembenahan melalui jalur hukum, sistem demokrasi nasional menjadi lebih inklusif dan tangguh. Keterlibatan publik yang tetap tinggi dalam PSU menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia telah matang dalam berdemokrasi dan mampu menolak provokasi yang mengarah pada kekerasan atau disinformasi.

PSU juga berfungsi sebagai momen reflektif bagi penyelenggara pemilu. Setiap kejadian yang memicu PSU menjadi bahan evaluasi untuk memperbaiki kualitas penyelenggaraan ke depan. KPU dan lembaga terkait dituntut untuk semakin meningkatkan pelatihan, akurasi logistik, serta mitigasi risiko dalam setiap tahapan pilkada. Hal ini penting untuk menjamin bahwa PSU hanya menjadi jalan terakhir ketika terjadi pelanggaran prosedural yang serius.

Pemerintah pun melihat PSU sebagai bentuk keberpihakan terhadap hak konstitusional rakyat. Dalam sistem demokrasi yang sehat, suara setiap warga harus dijamin dan dihormati. Pemungutan suara ulang menjadi bukti bahwa negara tidak membiarkan hasil pilkada ditentukan oleh prosedur yang keliru atau manipulatif. Sebaliknya, negara hadir untuk memastikan bahwa semua proses berjalan dalam koridor hukum dan etika demokrasi.

Dengan demikian, PSU bukan hanya memperbaiki kesalahan, tetapi juga memperkuat fondasi demokrasi. Setiap tahapan yang dilalui dalam proses ini menciptakan ruang bagi masyarakat untuk menilai bahwa demokrasi Indonesia masih memiliki integritas. Kepala daerah yang terpilih melalui proses ini pun akan membawa legitimasi yang lebih kokoh, baik secara hukum maupun secara sosial, yang sangat diperlukan dalam membangun pemerintahan daerah yang stabil, efektif, dan dipercaya publik.

)* Analis Politik Nasional – Forum Kajian Demokrasi Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *