Jakarta – Bahaya komunisme klasik di Indonesia dinilai sudah tidak ada, akan tetapi ide-ide liar dari anak muda saat ini harus dicermati secara khusus. Munculnya narasi-narasi provokatif sangat berbahaya, apalagi menjelang peringatan G30S, rawan dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk merusak soliditas bangsa. Meski begitu, Ridwan tetap meyakini bahwa kekuatan toleransi masyarakat Indonesia masih kuat untuk menghadapi provokasi semacam ini.
Hal tersebut dikatakan Pengamat Intelijen dan Terorisme, Ridlwan Habib saat acara wawancara dengan salah satu stasiun radio di Jakarta.
“Kalau disebut dengan relevansi, saya kira model-modelnya sudah berubah. Gerakan komunisme dalam perspektif lamanya sudah nggak ada. Tetapi sekarang ini yang lagi digandrungi, terutama oleh adik-adik kita yang muda-muda itu, adalah yang disebut dengan kiri jauh atau kiri liberal, atau yang sering disebut dengan anarko-sindikalis,” kata Ridlwan.
Dirinya menjelaskan, anarko yang kemudian dalam konsepsi mereka ini, tidak memerlukan sistem pemerintahan, DPR juga tidak ada law of order-nya. Karena itu, menurutnya, penegakan hukum harus tegak.
“Ini ide-ide anarki, merusak tatanan sendi kemasyarakatan, palagi kalau kemudian merusaknya dalam bentuk fisik. Misalnya membakar gedung, menyerang polisi, merusak pos polisi, dan seterusnya, saya kira tidak boleh ya itu dibiarkan. Karena kita harus meyakini bahwa Indonesia ini tegak karena kita negara hukum,” ucapnya tegas.
Namun Ridlwan meyakini kuatnya persatuan dan toleransi di Indonesia.
“Ya kalau di masyarakat pada umumnya sih saya insya Allah meyakini kekuatan toleransi kita masih sangat kuat,” kata Ridlwan.
Pasca peristiwa demonstrasi besar, Indonesia saat ini sudah dalam kondisi yang aman dan kondusif. Namun munculnya indikasi narasi berbahaya di media sosial yang mulai berkembang di kalangan Gen Z perlu disikapi oleh aparat keamanan dengan serius, khususnya terkait tren narasi “eat the rich” yang berpotensi dipahami secara sederhana dan keliru.
“Saya melihat indikasi nya mulai muncul, dan ini harus disikapi secara serius oleh aparat keamanan ya. Karena saya melihat ada narasi-narasi di media sosial, terutama di kalangan Gen Z ya, Gen Z netizen gitu, itu dengan narasi eat the rich,” kata Ridlwan.
Dalam kesempatan wawancara tersebut, Ridlwan menjelaskan, fenomena ini mirip dengan yang terjadi di Nepal, di mana Gen Z memulai gerakan kritik sosial melalui sorotan pada kehidupan glamor anak-anak pejabat (nepo baby), sementara kondisi ekonomi rakyat Nepal sedang berat.
“Ada yang kemudian akun-akun anonim yang memprovokasi agar kita tiru Nepal gitu kan. Ada sweeping terhadap orang-orang kaya, nah ini menurut saya bahaya,” katanya.
Ridwan menyampaikan kekhawatirannya terkait maraknya perdebatan di media sosial X mengenai narasi “eat the rich”.
“Hal ini tidak boleh dianggap sepele. Indikasi narasi ini mulai terlihat di berbagai media sosial seperti TikTok, X, dan Instagram, sehingga perlu diwaspadai bersama,” tegas Ridlwan.
Ridlwan kemudian menekankan pentingnya peran tokoh masyarakat dalam meredam potensi konflik sosial yang dipicu narasi provokatif di media sosial.
Sejalan dengan itu, lanjutnya, Presiden Prabowo telah menginisiasi langkah melalui Gerakan Nurani Bangsa, yang melibatkan berbagai elemen Masyarakat, seperti Quraish Shihab dan Ibu Sinta Nuriyah Wahid.
“Kolaborasi semua elemen Masyarakat ini sangat penting agar bangsa tetap solid, bersatu, dan tidak mudah terpecah oleh provokasi,” tutupnya.
Leave a Reply