Oleh Indah Rosterina )*
Retret Kepala Daerah Gelombang II yang digelar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, menjadi momentum penting bagi penyelarasan program pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Lebih dari sekadar pertemuan seremonial, retret ini merupakan wujud konkret dari ikhtiar kolektif bangsa dalam menyelaraskan arah pembangunan nasional, agar dapat menjangkau hingga ke pelosok desa dengan pendekatan yang kolaboratif dan sinergis.
Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, menegaskan pentingnya membangun jejaring komunikasi antara para kepala daerah sebagai fondasi utama kerja sama lintas wilayah. Retret ini, menurutnya, menjadi ruang strategis bagi para bupati, wali kota, gubernur, dan wakil kepala daerah untuk saling mengenal lebih dekat, sehingga kolaborasi antardaerah bisa terjalin lebih efektif. Evaluasi dari retret gelombang pertama menunjukkan hasil positif, di mana pendekatan interpersonal menjadi katalisator terciptanya sinergi yang lebih nyata di lapangan. Dalam konteks pembangunan nasional yang semakin kompleks, komunikasi antarkepala daerah bukan hanya kebutuhan, melainkan keniscayaan.
Keberadaan kepala daerah sebagai ujung tombak pembangunan menjadi fokus perhatian dalam retret ini. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Rachmat Pambudy, dalam paparannya menggarisbawahi bahwa pembangunan yang sesungguhnya berlangsung di daerah. Pemerintah pusat, oleh karena itu, menyadari betapa vitalnya peran pemimpin daerah dalam merealisasikan target-target pembangunan jangka menengah dan panjang. Melalui penyelarasan antara rencana pembangunan pusat dan daerah, diharapkan arah kebijakan menjadi seragam dan tidak tumpang tindih, sehingga setiap program yang dirancang dapat berjalan lebih optimal dan tepat sasaran.
Rachmat menekankan bahwa pembangunan harus dimulai dari kebutuhan dasar masyarakat, seperti pangan, air, dan energi. Hal ini sejalan dengan visi besar pemerintah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang merata. Penekanan terhadap kebutuhan mendasar ini juga tercermin dalam Asta Cita yang memuat 17 program prioritas nasional dan 8 program hasil terbaik cepat, sebagai pedoman pembangunan selama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Retret ini, menjadi wadah penting untuk memastikan bahwa prioritas nasional benar-benar diterjemahkan secara konkret di level daerah.
Salah satu dimensi penting yang turut diangkat dalam retret adalah pembangunan desa. Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto, mengingatkan agar kepala daerah tidak mengabaikan desa sebagai basis utama kekuatan negara. Ia mencontohkan situasi di Jepang dan Korea Selatan yang kini menghadapi tantangan demografis dan ekonomi akibat desa-desa mereka tidak terkelola dengan baik. Pesan tersebut menjadi peringatan sekaligus ajakan agar kepala daerah di Indonesia mampu mengelola dan memberdayakan desa secara berkelanjutan.
Yandri mendorong kepala daerah untuk menjadikan desa sebagai pusat ketahanan ekonomi, mulai dari pengembangan desa wisata, desa ketahanan pangan, hingga desa bebas sampah. Dalam forum tersebut, ia juga menerima berbagai aspirasi terkait pengaturan penggunaan dana desa. Salah satu poin krusial adalah alokasi 20 persen dana desa yang secara mandatori digunakan untuk mendukung ketahanan pangan, sebagaimana diatur dalam peraturan Menteri Desa. Menurutnya, hal ini perlu mendapat perhatian serius dari kepala daerah melalui pengawasan, evaluasi, serta pendampingan kepada aparat desa, sehingga pemanfaatan dana desa benar-benar tepat guna dan menyentuh kebutuhan nyata masyarakat.
Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah sejatinya tidak hanya terbatas pada penyelarasan dokumen perencanaan atau harmonisasi kebijakan administratif. Lebih jauh dari itu, sinergi dimaksud harus mampu menciptakan mekanisme kerja bersama yang responsif terhadap dinamika sosial, ekonomi, dan budaya di masing-masing daerah. Retret Gelombang Kedua ini memberikan ruang refleksi dan proyeksi bagi para kepala daerah agar tidak hanya memandang pembangunan sebagai tugas administratif semata, tetapi sebagai tanggung jawab moral untuk mewujudkan kesejahteraan yang inklusif.
Retret ini juga memiliki nilai strategis dalam konteks konsolidasi nasional. Di tengah berbagai tantangan pembangunan yang muncul akibat ketimpangan wilayah, perubahan iklim, hingga gejolak ekonomi global, koordinasi antarpemangku kebijakan menjadi kunci agar Indonesia dapat tetap melaju dengan arah yang selaras. Pemerintah pusat, melalui Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, dan Kementerian Desa, secara aktif membangun ruang dialog dengan kepala daerah guna memastikan pembangunan tidak hanya cepat, tapi juga merata dan berkeadilan.
Momentum ini harus terus dijaga. Retret tidak boleh berhenti sebagai forum diskusi, tetapi harus bertransformasi menjadi wadah lahirnya kesepahaman dan aksi nyata. Dengan memperkuat komunikasi dan mempererat kolaborasi, para kepala daerah memiliki peluang besar untuk menciptakan inovasi dan solusi yang sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing, sekaligus sejalan dengan agenda nasional. Ini menjadi titik tolak penting dalam menyusun masa depan pembangunan Indonesia yang lebih inklusif dan berdaya saing global.
Melalui retret ini, Indonesia sesungguhnya sedang mengukuhkan satu pesan penting bahwa membangun negara tidak bisa dilakukan secara terpisah-pisah. Dibutuhkan penyatuan langkah antara pusat dan daerah, antara visi makro dan tindakan mikro, antara strategi nasional dan kebutuhan lokal. Jika semua itu bisa diselaraskan, maka pembangunan bukan hanya akan berjalan lebih cepat, tetapi juga lebih adil dan berpihak pada rakyat.
)* Penulis merupakan Pengamat Kebijakan Pembangunan Nasional
Leave a Reply