Oleh : Herman Firmansyah )*
Dalam beberapa tahun terakhir, isu mengenai rendahnya literasi siswa Indonesia sering kali diangkat dalam berbagai media dengan narasi yang cukup mengkhawatirkan. Judul-judul seperti “Indonesia Cemas”, “Krisis Literasi”, atau “Darurat Membaca” kerap menghiasi pemberitaan dan menyebar di media sosial. Meskipun data dari berbagai survei memang menunjukkan bahwa kemampuan literasi siswa Indonesia masih perlu ditingkatkan, penting bagi kita untuk tidak terjebak dalam narasi provokatif yang justru melemahkan semangat perubahan. Sebaliknya, kita harus membangun optimisme dan kesadaran kolektif untuk memperkuat budaya literasi secara inklusif dan berkelanjutan.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Irwan Akib mengatakan keberhasilan pendidikan hari ini akan sangat menentukan kesiapan generasi muda menghadapi masa depan bangsa. Guru dan murid harus memiliki kesiapan iman yang kuat, yang berakar pada ajaran tauhid. Ajaran tauhid bukan sekadar pengucapan dua kalimat syahadat, tetapi harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam semangat menuntut ilmu untuk menghapus kebodohan. Pihaknya juga mengingatkan pentingnya etika dalam penggunaan media sosial, menjaga akhlak, serta menjadikan sekolah sebagai pusat pembentukan generasi inovatif, kreatif, dan berakhlak mulia.
Perlu disadari bahwa persoalan literasi bukan hanya persoalan Indonesia semata. Banyak negara berkembang menghadapi tantangan serupa dalam menyetarakan akses pendidikan berkualitas, meningkatkan kompetensi guru, dan membangun ekosistem belajar yang mendukung keterampilan abad ke-21. Oleh karena itu, membingkai kondisi literasi Indonesia secara berlebihan dengan narasi “krisis permanen” justru bisa mematikan inisiatif lokal yang sedang bertumbuh. Di berbagai pelosok negeri, banyak sekolah, guru, komunitas, dan orang tua yang berjuang keras untuk menumbuhkan minat baca anak-anak mereka dengan cara-cara yang kreatif dan kontekstual. Sayangnya, upaya mereka kerap tenggelam di tengah riuhnya wacana pesimistis.
Narasi “Indonesia Cemas” yang terkesan membesar-besarkan kekurangan justru bisa menjadi bumerang. Ia bisa melemahkan rasa percaya diri siswa dan guru, mengerdilkan potensi daerah, serta menciptakan pandangan bahwa pendidikan Indonesia sudah gagal secara sistemik. Padahal, kenyataannya jauh lebih kompleks dan penuh harapan. Indeks literasi bukanlah satu-satunya ukuran keberhasilan pendidikan. Kemampuan memahami teks memang penting, namun begitu pula dengan karakter, kreativitas, kemampuan berpikir kritis, dan nilai-nilai kebhinekaan yang juga menjadi tujuan pendidikan nasional. Maka, pendekatan yang lebih bijak adalah dengan menjadikan hasil survei sebagai pemicu refleksi dan perbaikan, bukan alat untuk menyebar kecemasan berlebihan.
Penting juga untuk melihat bahwa literasi bukan semata-mata kemampuan membaca buku, tetapi menyangkut kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk untuk memecahkan masalah sehari-hari. Dalam konteks ini, transformasi digital yang sedang berjalan di Indonesia membuka peluang besar untuk memperluas akses dan bentuk literasi. Siswa kini bisa belajar dari video edukatif, podcast, e-book, forum diskusi, dan berbagai platform daring lainnya. Literasi abad ke-21 membutuhkan pendekatan yang adaptif dan kontekstual, bukan sekadar penguasaan teks tertulis.
Sementara itu, Gubernur Sumatera Selatan, H. Herman Deru mengatakan pihaknya berkomitmen dalam menyambut tantangan bonus demografi 2045 melalui program Pendidikan Karakter Laskar Pandu Satria. Program ini menyasar siswa SMA/SMK dari berbagai kabupaten/kota di Sumsel. Program ini telah mendapat dukungan luas dari orang tua siswa. Mereka menilai kegiatan ini sebagai bentuk perhatian nyata dari pemerintah terhadap masa depan anak-anak.
Di lain, balik kekhawatiran yang kerap dimunculkan, sebenarnya terdapat banyak inisiatif positif yang perlu mendapatkan ruang lebih besar dalam pemberitaan. Gerakan literasi sekolah, pojok baca, perpustakaan digital, komunitas baca mandiri, serta dukungan dari dunia usaha dan organisasi non-profit telah banyak memberikan dampak nyata dalam meningkatkan budaya literasi di tingkat lokal. Pemerintah pun tak tinggal diam. Melalui program Merdeka Belajar dan Kurikulum Merdeka, upaya peningkatan kualitas pendidikan semakin diarahkan pada penguatan kompetensi dasar, termasuk literasi. Kurikulum ini memberikan fleksibilitas bagi guru untuk menyesuaikan pembelajaran dengan konteks lokal dan kebutuhan siswa, yang pada gilirannya berkontribusi pada meningkatnya minat dan pemahaman siswa terhadap pelajaran.
Tentu saja, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Namun, kita harus tetap percaya bahwa perubahan sedang dan terus berlangsung. Menghadapi tantangan literasi bukan dengan ketakutan dan kegaduhan, tetapi dengan kolaborasi dan optimisme. Kita butuh lebih banyak cerita inspiratif tentang anak-anak di pedalaman yang belajar dengan semangat tinggi, guru-guru yang berinovasi di tengah keterbatasan, serta keluarga yang mulai membangun kebiasaan membaca di rumah. Semua kisah itu merupakan bukti bahwa harapan itu nyata dan layak diperjuangkan bersama.
Akhirnya, marilah kita membangun narasi baru yang lebih sehat dan konstruktif tentang literasi siswa Indonesia. Bukan narasi yang menakut-nakuti atau menyalahkan, melainkan narasi yang mengajak, memberdayakan, dan memberi ruang bagi tumbuhnya semangat belajar sepanjang hayat. Literasi adalah fondasi peradaban, dan membangun peradaban tidak pernah selesai dalam satu generasi. Maka, setiap langkah kecil untuk memperkuat budaya literasi, sekecil apa pun itu, layak diapresiasi dan didorong. Dengan sikap positif dan kerja bersama, bukan tidak mungkin Indonesia akan bangkit sebagai bangsa literat yang tak hanya membaca, tapi juga memahami, mencipta, dan menginspirasi dunia.
)* Pengamat Pendidikan dalam Negeri
Leave a Reply